Membentuk Generasi Cerdas, Sholeh, Muslih Waj'alna Lil Muttaqina Imama

 Bagaimana cara membantu orang yang dzalim?

Bagaimana cara membantu orang yang dzalim?

Bandung Barat- Ar-Risalah Cisarua

 

       Rasulullah Saw. bersabda: “Tolonglah saudaramu yang melakukan kedzaliman atau yang terdzalimi” (H.R. Imam Bukhari). Ketika para sahabat mendengar hadits ini mereka berkomentar:  أفرأيت إذا كان ظالما كيف أنصره “Rasul, ketika ada orang yang terdzalimi, orang yang tertindas, itu suatu hal yang wajar jika kita tolong. Lalu bagaimana bisa kami harus menolong orang yang sedang dalam kondisi mendzalimi? Kemudian Rasulullah menjawab: “Bantu dia untuk menghentikan kedzalimannya karena dengan itu kamu telah melakukan pertolongan kepadanya dari perilaku dzalimya”.

 

       Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, ada beberapa pemuda berkunjung ke Sayyidah Aisyah ketika beliau berada di Mina. Saat itu para pemuda itu tertawa, lantas Sayyidah Aisyah bertanya “Hai para pemuda apa yang membuat kalian tertawa?” kemudian mereka menjawab, “Ada seseorang yang kakinya tersandung tali (untuk mengencangkan tenda) sampai lehernya mau putus dan matanya mau keluar”, lalu Sayyidah Aisyah berkata “Kalian jangan tertawa! Aku mendengar Rasulullah bersabda “Apapun yang dialami oleh seorang muslim baik kakinya terkena duri atau yang lebih besar, itu telah dituliskan oleh Allah dan kemudian menjadi media bagi Allah untuk menaikkan derajatnya atau menghapuskan dosanya”.

 

       Dua hadits ini menjadi pintu masuk kita untuk mengetahui betapa dahsyatnya agama kita ini. Terpikirkah oleh kita adakah agama yang mengajarkan seperti islam? Hadits pertama mengajarkan kita bahwa bahagia itu bukan sekedar ketika kita melihat orang yang terdzalimi terbebaskan dari kedzalimannya, bukan sekedar melihat dan puas ketika ada orang yang terbully kemudian mendapat simpati dari banyak orang dan mendapat anugerah dari Allah. Memang benar kita diajarkan untuk bersimpati, kita diajarkan agar kita ikut dibarisan mereka. Tapi bukanlah seorang muslim yang adil itu ketika mereka juga bahagia saat bisa membantu saudaranya yang dzalim menghentikan kedzalimannya untuk kembali kepada Allah?

 

       Lalu bagaimana cara kita membantu orang yang dzalim supaya bisa kembali kepada Allah dan kita merasa bahagia karena itu? Maka caranya adalah dengan mengajaknya untuk bertaubat kepada Allah semampu kita. Akan tetapi ada sisi tipis yang sering kali terlupakan dan harus diwaspadai yaitu pentingnya menanamkan dengan tulus di hati kita rasa kasih sayang kepada orang yang jatuh dalam kemaksiatan dan tidak ada tujuan menghina atau merendahkan mereka melainkan semata-mata untuk amar ma’ruf nahi munkar serta mendoakannya.

 

       Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kita sudah melakukan poin yang kedua ini? Apakah kita yakin ketika ikut menegur kita sudah menyiapkan hati bahwa kita tidak berniat untuk meremehkan melainkan untuk memuliakan mereka? Dan apakah kita sudah mendoakan mereka di waktu mustajab kita agar orang yang dzalim tersebut diberi hidayah, diangkat derajatnya, dan diberi kesadaran oleh Allah?

 

       Imam Muthrif bin Abdillah menyampaikan bahwa di antara akhlak orang shaleh adalah memintakan ampunan kepada Allah jika di hati kita tidak ada ruang untuk mengasihani orang yang jatuh dalam kemaksiatan. As-Syaikh az-Zahid Syaqiq al-Balkhi juga menyampaikan ketika lisanmu menceritakan seorang laki-laki yang tidak baik dan tidak ada rasa belas kasihan di hatimu, maka saat itu hakikatnya kamu lebih buruk darinya. 

 

       Bahkan Nabi Isa ‘alaihissalam menyampaikan hal yang lebih dalam, “Jangan sampai kalian melihat aib-aib manusia seakan-akan kalian itu Tuhan mereka, seakan seakan kalian itu pemilik mereka. Tapi lihatlah mereka yang jatuh dalam aib-aib kehidupan itu seperti kalian, sesama hambanya Allah yang butuh ampunan Allah dan kasihanilah orang-orang yang sedang diuji oleh  Allah jatuh ke dalam gelapnya maksiat”.

 

       Dua hadits tadi juga menjadi pembelajaran untuk kita bahwa kita tidak sepatutnya bahagia karena melihat mereka jatuh dalam kemaksiatan  dan dihukum di tengah-tengah masyarakat. Tapi yang seharusnya menjadikan kita bahagia adalah ketika kita sudah melihat mereka bertaubat kembali kepada Allah dari kemaksiatannya dan sudah memenuhi rukun-rukun taubat yaitu an-nadmu (penyesalan), al-’azmu (berjanji untuk tidak mengulangi), dan al-iqla’ (menghentikan kemaksiatannya) serta ketika berkaitan dengan hak-hak manusia seperti menyakiti orang lain dengan lisannya atau mengambil hak-hak orang lain, maka ia datang meminta maaf, meminta keikhlasan, atau mengganti kerugiannya kemudian taubat itu diterima oleh Allah, bukan malah semakin bahagia dan mencela ketika melihat mereka terus jatuh dalam kemaksiatan, itu bukan sifat dari mukmin sejati.

 

       Pernah suatu hari Sayyiduna Ma’ruf al-Karkhi jalan bersama murid-muridnya di tengah perjalanan mereka menemukan banyak orang-orang yang sedang bermaksiat. Dengan polosnya santri-santri beliau meminta asy-Syaikh Ma’ruf untuk mendoakan mereka supaya dihancurkan dan dibinasakan oleh Allah. As-Syaikh Ma’ruf mengiyakan permohonan dari para santrinya itu, namun yang mengejutkan ketika berdoa beliau tidak melantunkan doa yang diminta santri-santrinya, melainkan beliau berdoa seperti ini:


اللهم كما فرحتهم في الدنيا ففرحهم في الأخرة    
“Ya Allah sebagaimana engkau membuat mereka bahagia di dunia, maka buat mereka bahagia juga di akhirat”.

 

       Artinya beliau meminta agar Allah membuat mereka bertaubat kepada-Nya supaya mereka merasakan kebahagiaan di akhirat kelak sebagaimana kebahagiaan yang dirasakan di dunia saat mereka bermaksiat. Dan seharusnya kita tersibukkan oleh aib-aib kita sendiri bukan oleh aib-aib orang lain. Sebagaimana yang tertera pada hadits yang diriwayatkan oleh  Imam at-Tirmidzi, “Barang siapa yang mencela seorang muslim karena dosa yang dilakukannya, maka Allah akan menjadikan orang tersebut tidak akan menemui kematiannya sampai ia mengalami dosa seperti orang yang dihinakan tersebut”.***


Share :


Jazakalloh Khoir Telah Menjadi Bagian Jaringan Penyebar Media ARRISALAH.ID