Bandung Barat-Ar-Risalah Cisarua
Pada tanggal 26 Sya’ban 1445 H menjadi hari bersejarah sekali bagi Amelia Fadia Luthfiyah, santri takhassus Al-Qur’an di Pondok Pesantren Ar-Risalah yang dengan izin dan anugerah Allah Swt berhasil mengkhatamkan ujian (tasmi’) Al-Qur’an 30 juz dengan baik yang dimulai dari hari rabu pukul 14.00 sampai hari kamis pukul 13.30 dan sore harinya ditutup juz 30nya dengan disimak oleh seluruh santri Ar-Risalah juga jajaran asatidz.
“Tidak mungkin keberhasilan ini dicapai oleh amel tanpa dukungan dan doa dari keluarga, pada hakikatnya keberhasilan ini bukan keberhasilan amel sendiri, tapi seluruh keluarga besar. Sesuai dengan namanya Amelia Fadia Luthfiyah, menjadi doa insyaAllah, harapanku menjadi anak yang bisa menjadi penebus bagi keluarga dengan sifat kelembutannya Allah Swt. Artinya hari ini diwujudkan nama ini menjadi bukti insyallah berkah Al-Qur’annya amel sebagaimana janji yang diberikan oleh Rasulullah Saw, orang yang Allah titipkan Al-Qur’an di hatinya kemudian dijaga kemudian diamalkan insyaAllah bisa mensyafaati keluarganya.” Ucap Abah dalam sambutannya.
Yang tersulit dari Al-Qur’an itu bukan pada menghafalnya, karena menghafal Al-Qur’an jika diikhtiarkan dengan sungguh-sungguh, dibimbing oleh guru, dan dengan janji dari Qur’an itu sendiri dimudahkan, maka bagi orang-orang yang mau menghafalkannya insyaallah bisa dihafal. Akan tetapi yang tersulit dari Al-Qur’an itu bagaimana kemudian kita memantaskan diri dihadapan Allah, dihadapan Rasulullah, dihadapan para guru-guru yang membawa Al-Qur’an kepada kita menyambungkan sanad kita ke Rasulullah, ke malaikat Jibril, kemudian ke Allah, bagaimana kita memantaskan akhlak kita untuk pantas disebut sebagai “Ahlul Qur’an”.
Kemudian beliau menceritakan seorang ulama yang berasal dari Kajen-Pati yang sangat terkenal dengan Al-Qur’annya, yaitu Kiai Mbah Abdullah Salam, putra Kiai Mbah Abdussalam. Abah pernah beberapa waktu tinggal disana, dan sering menyempatkan setiap malam ke maqamnya Mbah Mutamakkin karena beliau setiap malam datang ke maqbarah untuk ziarah. Abah sengaja datang kesana karena ingin bertemu dan ikut bareng ziarah, salaman, dan ngambil berkah doa beliau. Beliau merupakan cikal bakal yang sampai sekarang Al-Qur’an di Kajen menusantara keberkahannya.
Mbah Abdussalam sekurun dengan Mbah Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah yang barakah dan terbesar di Indonesia bahkan terbesar di dunia, jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama. Mbah Abdullah Salam merupakan sahabat beliau. Mbah Abdussalam ini ahlu qur’an, ahlu kitab, akan tetapi kemudian setelah beliau mengajar qur’an bi-sanad, beliau memerintahkan kepada murid-muridnya untuk membakar sanadnya.
Sanad kita tahu merupakan hal yang sangat penting, bahkan di Pondok Pesantren Ar-Risalah ini bukti sambung kita ke Rasulullah belum tuntas, belum selesai dalam menghafal Al-Qur’an jika belum sampai ujian 30 juz yang dibaca secara sambung dan disimak kemudian dinilai, dianggap lulus, dan dianggap pantas untuk kemudian di sambungkan sanad ke Rasulllah Saw. Sanad menjadi keistimewaan dalam islam, menjadi penjaga keabsahan dan keauntentikan agama ini. Pada 7 Maret 2024, ananda Amelia Fadia Luthfiyah berhak mendapatkan sanad dari Nyai H. Mukhlishoh Zawawi, istri dari KH. Dr. Moh. Rofiqul A’la (Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Risalah) yang akrab dengan sapaan Abah.
Seorang ulama yang tahu persis nilai sebuah sanad, memerintahkan untuk bagaimana sanad itu dibakar. Karena beliau khawatir, orang yang benar-benar ahlu qur’an, yang benar-benar ahlullah, yang benar-benar berjalan dakwahnya karena Allah itu senantiasa ada kekhawatiran-kekhawatiran, yang kekhawatiran-kekhawatiran itu dalam rangka untuk menjaga keikhlasan amal beliau dan murid-muridnya karena beliau mengkhawatirkan nanti jangan sampai ketika telah menerima sanad itu menjadi bangga, menjadi sombong karena itu tidak sesuai dengan akhlak ahlu qur’an.
Sanad di Pondok Pesantren Ar-Risalah ini tinggi karena potong kompas langsung ke pusat Al-Qur’an di Damaskus, “Madrasah An-Nuriyah” dibawah bimbingan Syaikhakh Samar ' al-'Asaa, murid dari Qura’us Syam, Syeikh Muhiddin Al-Qurdi. Tapi tidak untuk itu kemudian dibangga-banggakan yang justru bertentangan dengan akhlak penjaga Al-Qur’an. Hal pertama inilah yang menjadi nasihat dari Abah untuk amel yang baru saja telah menyelesaikan ujiannya, “Jadi amel, sanad penting tapi bukan itu tujuannya. Karena menghiasi diri menjaga diri dengan akhlak qur’an ini yang terpenting.”Kata Abah dan melanjutkan ceritanya.
Beliau yang ahlu qur’an, ahlu kitab, bahkan kemudian kitab-kitab beliau di bakar. Beliau fokus mengurus qur’an, yang masih dijaga hanya kitab Tafsir Jalalain. Lantas bagaimana jika beliau mengaji dengan murid-muridnya? Beliau mengaji kitab itu dalam bentuk hafalan. Banyak kiai-kiai itu hafal kitab, hafal hadist, tetapi terkadang ngaji masih membawa kitab, ngaji masih menulis, ngaji masih membaca, itu dalam rangka “ta’adduban lil kitab” etika kepada kitab, tetapi aslinya beliau hafal.
Bahkan Syeikh Buthi ketika mengajar, walaupun yang dibaca kitab karya beliau sendiri jika tidak muthala’ah beliau tidak akan mengaji. Itu adab, etika bisa kita gambarkan seperti itu, dengan melihat akhlak-akhlak para ulama. Bagaimana beliau mengajari akhlak qur’an? Beliau melakukan aktifitas dunia, beliau setiap hari ke pasar dan beliau mengulang hafalannya dalam perjalanan berangkat dan sampai ke rumah sudah selesai hafalan qur’annya. Beliau menguji apakah kesibukan dunianya, aktifitas dunianya di pasar, bisa menggeser qur’annya atau tidak, dan ternyata beliau mampu menjaganya. “Apapun aktifitas dunia kita nanti, sesibuk apapun, murajaah Al-Qur’an harus tetap menjadi prioritas yang paling utama dan diutamakan dalam kehidupan kita.” Lanjut Abah menasihati.
Saat itu Mbah Kiai Hasyim Asy’ari menangis ketika beliau berkunjung ke Kajen mengunjungi sahabatnya, seorang ulama besar yang mana beliau tidak mau mengikuti kegiatan apapun (karena setiap ulama mempunyai ijtihad berbeda-beda) dalam rangka mengurus qur’an, khawatir kemudian tergeser waktunya. Lalu kenapa belaiu menangis? Karena dibalik kebesaran nama Abdullah Salam ini ternyata beliau mengajar qur’an anak-anak kecil. “Jadi jangan sampai tingginya sanad kita, tingginya strata sosial kita di masyarakat kemudian tidak mau ngajar anak kecil-kecil justru inilah mendidik paling dasar lebih utama daripada menambahkan ilmu-ilmu yang lain ke mereka. Itu yang paling banyak barakahnya, bahkan banyak ulama yang tidak rela, tidak mau Al-Fatihah anaknya diajarkan oleh orang lain, karena apa? Karena itu dibaca seumur hidup ketika shalat, berkahnya ke siapa? Kepada yang ngajar. Ini nasihat ketiga.” Ucap Abah dengan tegas.
Abahnya Mbah Sahal Mahfudz merupakan kakaknya Mbah Abdullah Sahal. Suatu hari bapaknya marah melihat tumpukan-tumpukan beras, “Itu seperti berhala-berhala yang kamu sembah”. Jika kita kaitkan dengan ahlul qur’an, ahlul qur’an itu tidak boleh takut besok makan apa, urusan rezeki tidak akan disia-siakan oleh Allah ketika qur’an diurus. Abu Yazid Al-Busthami pernah dibuat malu oleh seekor anjing, kenapa? Ketika beliau hendak pergi ke masjid bertemu seekor anjing dan mendekat, beliau menjauh. Kemudian Abu Yazid Al-Busthami dibuat bisa mengerti bahasa anjing oleh Allah, “Najis itu kan kalau aku kena pakaian, dibasuh dengan air 7 kali dengan debu juga suci, tapi kalau yang kotor itu hati, susah membersihkannya.”kata anjing. “Yasudah yuk jalan bareng”Jawab Abu Yazid. “Tidak mau, nanti kami dicemooh oleh orang-orang, sedangkan aku dan kamu itu beda. Dengar Abu Yazid, walaupun aku seorang anjing aku tidak pernah menyimpan makanan di rumah, tapi kamu seorang ulama masih takut besok makan apa!”.Tegas anjing.
Mbah Kiai Arwani yang masyaAllah qur’an nya menusantara. Ummi Mukhlishoh juga dapat berkahnya beliau, karena kakak ummi, Almh. Nyai ‘Aliyah Zawawi merupakan guru pertama ummi dan beliau murid dari Mbah Kiai Arwani Kudus. Beliau justru memberikan wasiat yang sangat ekstrim kepada murid-muridnya tetapi justru itu bukti kasih sayang beliau. Wasiat beliau yaitu tidak boleh menjadikan Al-Qur’an sebagai media untuk mencari dunia, tidak boleh ikut lomba-lomba dalam rangka mencari dunia, anehnya ketika wasiat itu (beliau menuliskan ini seperti yang diwasiatkan oleh Kiai Munawir Krapyak) dan saat itu ternyata, yang sekarang mengadakan lomba-lomba belum ada, jadi seakan-akan beliau itu sudah kasyaf. Orang-orang ahlullah sudah mengerti kedepan akan muncul penyakit-penyakit dimana qur’an itu menjadi sesuatu yang dijadikan media oleh sebagian orang yang tidak mengerti kemuliaan Al-Qur’an untuk kemudian mencari dunia.
وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًاۖ
Artinya: “Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga murah”.
Bahkan beliau mengatakan jika sampai muridnya ada yang melakukan itu, maka tidak diakui sebagai muridnya. Itu kalimat yang luar biasa sekali yang dibalik kalimat itu menunjukan kasih sayang seorang guru kepada muridnya. Kenapa? Guru mana yang ingin putus hubungan dengan muridnya? Tidak ada. Karena beliau ingin muridnya selamat dari ujian yang bisa menggeser akhlak ahlul qur’an.
Begitulah 5 nasihat yang disampaikan Abah pada santri Ar-Risalah khususnya santri takhassus qur’an. Semoga Allah menjaga kita semua dari ujian-ujian yang bisa menggeser akhlak-akhlak ahlul qur’an. Aamiin***