Menjadi Pribadi Berkualitas Dengan Berilmu
Bandung Barat- Ar-Risalah Cisarua
Selasa, 08 Oktober 2024 Pondok Pesantren Ar-Risalah kedatangan tamu mulia dari negeri yang penuh berkah Hadramaut, Yaman. Salah satu murid kesayangan Al-Habib Umar bin Hafidz yaitu Al-Habib Abdullah bin Ahmad Maknun Assegaf. Kedatangan beliau disambut hangat dan penuh penghormatan oleh santri juga jajaran asatidz Ar-Risalah. Tujuan beliau datang dari Yaman ke Indonesia tidak lain adalah untuk menyiarkan ilmu yang telah beliau timba bertahun-tahun. Pada kesempatan tersebut beliau tidak segan memberi mau’idzohnya yang amat sangat bermanfaat bagi para pelajar terlebih lagi bagi para santri.
Di awal mau’idzohnya yang terbilang singkat itu beliau mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur karena telah ditempatkan di tempat yang mulia (Pondok Pesantren). Beliau bertutur bahwasanya ilmu itu bisa didapat dengan cara mempelajarinya dan untuk pemahaman sebuah ilmu itu bisa didapat dengan usaha untuk memahaminya. Selain itu, ilmu yang akan kita pelajari juga harus berada di bawah bimbingan seorang guru yang sanadnya terus sambung hingga ke sumber ilmu yaitu Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini memberi pengertian bahwa pentingnya kita berpikir, memilih juga memilah kepada siapa kita akan menimba ilmu.
Dalam masalah tersebut beliau menyinggung dawuh Ibnu Mubarak yang mengatakan “Kalau saja ilmu itu tidak bersanad dan tidak ada kesinambungan dengan nabi maka pastinya orang-orang akan mengucapkan apapun sesuka hatinya”. Lalu, beliau melanjutkan “Barang siapa yang belajar ilmu tanpa membarenginya dengan seorang guru, maka bahaya ilmu tersebut lebih banyak dibandingkan kemanfaatannya baik untuk dirinya maupun orang-orang disekitarnya.
Beliau menjelaskan bahayanya ilmu yang tidak disandarkan kepada seorang guru yaitu dengan menyinggung kaum khawarij.
Jika dilihat dengan kacamata dunia mereka adalah orang-orang ahli quran, ahli ilmu, ahli ibadah. Tapi nyatanya disisi lain mereka malah mencela Sayyidina Ali karamahullahu wajhah dan menganggap hal itu adalah termasuk dari salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Beliau juga menyinggung kaum mu’tazilah yang tidak percaya bahwasanya setelah manusia dibangkitkan dari kubur kita akan bisa melihat Dzatnya Allah padahal itu adalah kenikmatan yang paling tinggi di surga kelak dan banyak hadits shahih yang menyinggung tentang kenikmatan melihat Dzat Allah di hari kiamat kelak. Jika dilihat, ini memanglah masalah kecil, namun resikonya sangat berbahaya sehingga bisa membelokkan pemikiran dan pemahaman kita yang nantinya dikemas dan membuat hal itu seakan-akan benar.
Ketika sudah dipupuki banyak ilmu oleh guru, santri yang diberi kesempatan keluar dari pondok hendaknya ia tidak lupa dengan guru-guru yang telah menanamkan benih ilmu pada dirinya. Hubungan seorang murid dengan guru jangan pernah lepas. Jika hal itu sedikit saja kurang diperhatikan, maka akan membuat ilmu yang telah didapatnya mudah diserap oleh pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Ilmu itu mengundang amal. Maka, setelah kita terjun bermasyarakat jangan sampai tertipu dengan kemuliaan yang dititipkan pada kita. Jangan sampai kita terlena dengan apa yang diberikan masyarakat sehingga kita lupa bahwa kita ini bukanlah siapa-siapa di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Dan saat menyebarkan ilmu jangan sampai kita berniat supaya dikenal banyak orang, sebab di hari kiamat nanti orang pertama yang akan digelincirkan ke neraka adalah orang-orang yang berdakwah dengan tujuan menggapai Dunia. Beliau mengatakan bahwa tanda orang yang benar-benar menuntut ilmu karena Allah adalah ketika di siang dan malamnya ia tersibukkan dengan Al-Qur’an, ia mengamalkan apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an dan ketika ia melihat teman yang lebih hebat darinya ia tidak hasud melainkan ia turut senang.
Dan terakhir ia menyampaikan pentinganya memperhatikan waktu. Orang yang berakal sehat pastinya ia akan senantiasa menghargai waktu. Beliau menceritakan Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir yang membuat tiga belas halaqoh di setiap malam, sejarah mencatat di semasa hidupnya setiap kali waktu dhuha datang ia selalu shalat dan menghatamkan sepuluh juz Al-Qur’an. Tidak hanya itu di setiap harinya ia tidak pernah tertinggal membaca dzikir أستغفر الله , لاإله إلاالله, dan shalawat sebanyak dua puluh lima ribu kali.
Begitulah kurang lebih nasihat yang beliau sampaikan pada kami, kesimpulannya adalah kita harus bersyukur ditempatkan di tempat yang mulia yang pastinya kita senantisa dibimbing oleh guru yang sanadnya terhubung hingga Rasusulullah shallallahu ‘ailaihi wasallam di dalam menuntut ilmu, serta tidak melupakan jasa-jasanya dan meluruskan niat kita karena Allah ketika mengamalkan ilmu tersebut. Namun, hal terpenting yang menopang kesuksesan kita adalah bagaimana kita mengatur waktu yang baik. Semoga kita semua bukan termasuk orang yang mensia-siakan waktu, Aamiin Allahumma Aamiin. ***